Hai! XD Maaf nih cerbung yang aku janjiin lama. Dan bener-bener telat! Kenapa? Soalnya, sibuk sama sekolah. Padahal UN udah selesai. So, here this is. Baca dan komen ya! :-)
Aldene
tampak sangat lelah hari itu. Presentasi, Quiz, dan berbagai macam tugas hari
itu sukses membuatnya lelah seperti habis bekerja Rodi. Membuat tubuhnya terasa
remuk, sudah tidak ada kekuatan lagi untuk berdiri tegak. Yang ada, hanya untuk
merebahkan dirinya di atas kasur.
Sepanjang
hari ini, pak Horis berhasil membuat seluruh tulang maupun sendi bertekuk
lutut, memohon agar tak sekeras dan selama itu dipaksa bekerja.
Presentasi
berisi 58 slide telah ia putar menjelaskan apa arti dari Ekonomi Bisnis Fashion
yang dapat meningkatkan ekonomi bangsa. Powerpoint yang telah dia pikirkan
selama 1 minggu kerangkanya, dan 3 minggu pencarian bahan sekaligus penjelasan
materi.
Dia
mendapat giliran nomor 13. Dia salah satu dari sekian juta masyarakat negeri
ini yang percaya akan mitos di jaman milenium abad 21. Dan masih percaya bahwa
angka 13 adalah angka ketidakberuntungan.
Satu orang
bisa sampai 20 menit memaparkan presentasi di depan 3 orang juri. Salah satunya
pak Horis, yang sudah tersohor sebagai ekonom handal di kampus. Dua orang juri
lainnya adalah praktisi fashion yang telah lalu lalang di perindustrian
perkainan dan memiliki jam terbang setinggi galaksi bimasakti.
“No no no.
Seorang Aldene nggak boleh malas. Kalau malas, mau bilang apa Ayah dan Ibu di
rumah? Aku nggak mau dibilang di luar kota hanya merepotkan mereka dan membuang
uang seenaknya,” gerutu Aldene kepada dirinya.
Sudah 2
tahun Aldene tinggal di Jakarta untuk meneruskan mimpinya menjadi desainer
terkenal kelas internasional. Aldene tinggal sendiri di Jakarta. Tanpa saudara,
tanpa keluarga, semuanya asing. So,
dia harus berjuang seorang diri di Jakarta.
Usianya
sudah 21 tahun. Dia sempat tidak naik kelas satu tahun saat SMA. Harusnya, dia
sudah semester 6. Tapi, dia baru masuk semester 4.
Handphone-nya berdering saat dia membereskan
buku-buku pelajaran ke rak bukunya.
“Halo,”
Aldene memulai.
“Halo, Denu,” ada suara di seberang sana.
“Bu, jangan
panggil ku seperti itu, lah...” Aldene mendengus kesal.
“He he,
habisnya lucu kalau kamu dipanggil seperti itu,” suara itu seperti menyimpan
sesuatu. Dengan sadar, Aldene mencurigai sesuatu.
“Bu, ibu
ada apa?” Aldene menyidik.
“Uhm?” kata
Ibu.
“Ibu telpon
pasti ada apa-apa dengan Ibu, kan?” tanya Aldene lebih lanjut.
“Kok kamu
tau sih, Kak...”
“Begini,
Aldo adik kamu. Dia...”
Hening.
Suara ibu tercekat sesuatu di dalam tenggorokannya.
“Loh, kok
diem, Bu?” Aldene heran. Ada apa dengan ibunya ini?
“Kemarin
Ayah ambil hasil rontgen Aldo. Dan setelah dibaca dokter, ternyata ada lubang
di paru-paru kanannya. Dan, kalau tidak segera ditangani, mungkin dia tidak
akan...”
Jantung
Aldene seakan penuh oleh rasa sesak yang amat dalam. Adiknya... mengidap
penyakit yang menurutnya seram.
“Aldo.. apa
dia sekarang...”
“Dia masih
batuk-batuk, nak. Berat badannya juga turun 8 kilo dalam waktu 2 bulan.”
“Ibu takut
ada hal yang lebih parah menimpanya.”
Ibu terdiam
sebentar.
“Dengan
itu, ibu harap maklum kalau mulai bulan depan biaya hidup kamu di Jakarta akan
berkurang.”
“Iya, Bu.
Aku mengerti. Ini semua demi kesembuhan Aldo. Aku akan mencari pekerjaan paruh
waktu di sini, untuk memenuhi kebutuhan hidupku di Jakarta. Ibu sudah tidak
perlu mengirimku uang. Fokuskan pikiran Ayah dan Ibu pada Aldo. Aku nggak mau
dia mengidap penyakit yang lebih parah lagi.” Tanpa sadar Aldene mulai
meneteskan air matanya.
“Kamu nggak
usah mengkhawatirkan kami bertiga, ya. Kami selalu mendukungmu. Apapun
rintangan yang kamu hadapi di Jakarta, hadapi dan hadirkan selalu Tuhan di
hatimu.”
Ucapan dan
nasihat Ibu membuat hati Aldene sedikit lega menghadapi kenyataan yang baru
diterimanya.
“Makasih
ya, Kak. Kamu sangat sehat, terdengar dari suara kamu yang lantang,” ucapnya.
“Tuhan dan Alam Semesta mencintaimu.”
“Makasih
juga ya, Bu. Love you too.” Aldene menghapus air mata di pipinya.
Aldene
melanjutkan diri memasak makan malam. Memasak nasi goreng di rice cooker
menjadi keahliannya selama ini.
Setelah
nasi goreng selesai dimasak, dia baru teringat dengan ucapannya tadi.
“Mampus!
Aku bilang ke Ibu kalau aku akan mencari part-time
job. Tapi harus cari di mana?” dia bingung sambil melahap nasi gorengnya.
“Kalau
besok sampai nggak dapet, aku mau makan apa bulan depan?!”
Dia lalu
menyambar handphone dan menekan tuts sebuah nomor telepon. Milik Abeegail,
sahabatnya di kampus.
“Halo,” suara di seberang sana.
“Halo, Bee.
Ini aku,” kata Aldene.
“Aku? Aku siapa? Anak gembala?” tanya
Abeegail.
“Halah,
jayus! Ini Aldene. Siapa lagi sih anak kampus yang manggil kamu dengan sebutan
‘Bee’?” jawabnya.
“Oh, Dene! Ya Tuhan, nomormu nggak pernah aku
save soalnya. Jadi, nggak pernah tahu deh siapa yang akan menelponku,”
Abeegail meringis.
“Yea what ever. Bee, aku butuh bantuanmu
dong.”
“Bantu aku
cari lowongan kerja part-time job,
yah?” kata Aldene.
“Kerja paruh waktu? Gila. Di Jakarta, susah meen. Lo serius mau cari part-time
job?” tusuk Abeegail to the point.
Jleb.
Dalem.
“Bee, aku
emang butuh banget. Adikku, Aldo, harus perawatan paru-paru. Uang ayah dan ibu
juga harus dipakai untuk perawatannya. Nah aku? Uang jajanku akan berkurang
mulai bulan depan. Jadi, aku harus mencari pekerjaan paruh waktu. Kalau tidak?
Makan apa aku nanti,” kata Aldene sambil memegangi perutnya.
“Ya sudah, Dene. Nanti aku carikan part-time
job untukmu, ya.”
“Makasih
ya, Bee! Kamu emang yang terbaik.”
Klik.
Telpon terputus.
ABEEGAIL
dan Aldene sedang menyeruput kopi yang tadi mereka pesan. Suasana sepulang dari
kampus membuat mereka mampir ke kafe Kopi & Donat J.Co di dekat kampus
mereka. Mereka rutin mampir ke sini sejak 2 tahun yang lalu. Dikarenakan
kecanduan mereka terhadap satu pasangan: kopi dan donat.
“Oh iya
Dene,” kata Abeegail sambil mengunyah donat Green Tea-nya.
“Kenapa
kamu enggak ngelamar part-time job di sini aja? Lumayan kan, kamu setiap hari
mencium aroma donat dan kopi secara gratis. Dibayar pula.”
Aldene yang
sedang menyeruput Moccachino-nya menatap Abeegail, menyerap usul yang Abeegail
beri.
“Uhm. Iya
juga ya. Lumayan kalau aku bekerja di sini.”
Seketika
mata Aldene tertuju ke pintu masuk kafe. Matanya terbelalak. Seakan ada yang
tertusuk dalam hatinya. Moccachino yang berada di lidahnya terasa hambar,
bahkan hampir pahit. Matanya kini terhenti pada satu objek yang baru dilihatnya
kembali.
Abeegail
yang masih sibuk mengunyah donatnya menangkap mimik wajah sahabatnya itu. Sepertinya ada yang aneh, batinnya
berkata. Dia mengikuti gerak mata Aldene ke pintu masuk. Ternyata benar!
Itu Bagus.
Perempuan itu?
“Dene, are
you OK?” Abeegail menyadarkan temannya itu.
Aldene
masih terdiam. Namun kini tatapan matanya berpindah ke cangkir kopinya di meja.
Dia tak mampu menangis. Dia hanya mampu memutar memori yang dulu ada. Memori
yang sebelumnya menjadi bala dalam hidup Aldene. Bala bencana.
“Dene, Dene.”
“Eh, iya!
Kenapa Bee?” kata Aldene pura-pura bodoh.
“Don’t be like a fool, Dene. Sudah yuk
kita pulang saja.” Akhirnya mereka berdua pulang dengan donat di masing-masing
tangannya.
“BEE, aku
kenapa ya tadi?” kata Aldene sambil membereskan kamar kosnya.
“Kamu tadi
lihat Bagus ya?” kata Abeegail jelas.
“Iya. Tapi,
kenapa napasku langsung begini ya?”Aldene meletakkan tangannya di dadanya.
Terasa ada benda yang jatuh dengan keras. Benda—yang mungkin—kembali jatuh
setelah kejatuhan pertama kali 3 tahun lalu.
Abeegail
mengerti perasaan sahabatnya itu. Dia hanya tidak mau melanjutkan bertanya ke
Aldene. Dia tahu, Aldene masih syok. Walaupun ia tidak tahu bagaimana Bagus,
tapi dia sudah bisa menebak kalau tadi adalah Bagus.
“Emang,
kamu sama Bagus berapa lama sih?” tanya Abeegail.
“Berapa
lama apanya?”
“Please, ya kamu jadian sama si Bagus!”
sentak Abeegail.
“Ooh, 3
tahun,” jawab Aldene pendek.
“Uhm.”
“Berarti
waktu itu kalian masih SMA, ya?” tanya Abeegail lagi. Aldene mengangguk.
Dan Aldene
masih tidak mau bercerita. Abeegail memilih untuk tidak melanjutkannya.
“Bee..”
kata Aldene pelan.
“Apa?”
“Aku enggak
mau bekerja di kafe seperti J.Co, ya.”
To be continued....
To be continued....
Kenapa harus J.Co ...
BalasHapus