27 Des 2011

Kisah Temen Sebangku

Kisah ini gua dedikasikan untuk teman sebangku gue di kelas 9B periode 24 oktober – 4 November 2011.
Apakah gue harus sebutkan namanya? Sebaiknya sih, jangan. Gua hanya ingin membagi pengalaman yang gue dapet dari dia. Semoga, kalian dapet pelajaran dari kisah ini.
Dia, temen gue ketika gue sedang jauh dengan temen-temen gue, 2 tahun yang lalu. Awalnya, kita nggak deket sama sekali. Kita cuma saling kenal. Ya, cuma saling kenal. Dan saling tahu bentuk wajah dan asal sekolah kami. Saat kelas 7 semester 1, dia duduk di belakang gue. Dan gue nggak ngeh kalo dia adalah lulusan sekolah Islam yang lumayan dikenal sama masyarakat di kota gue.
Gue tahu, dan menyadari, banyak yang berteman dengan gua. Sementara, dia tidak seperti gue. Kalo kata gue, dia lumayan cupu. Dia pinter, emang. Tapi mungkin dia nggak supel. Itulah kekurangan yang dia miliki.
Ngomong soal fisik, dia lebih pendek 5 senti dari gue. Ngomong soal kecantikan, dia manis. Tapi dia nggak menyadari tentang parasnya yang manis itu.
Dia selalu dijemput ibunya-yang seorang ibu rumah tangga-setiap pulang sekolah. Gue memanggil ibunya dengan sebutan “Mama” karena gue emang udah deket banget sama beliau. Gue sering banget ngobrol dan ‘nyambung’ sama beliau. Gue juga udah menganggap beliau seperti nyokap kandung gua sendiri.
Gua selalu seneng kalo duduk sebelahan sama dia. Entah kenapa, gue selalu nyaman. Gue selalu ngerasa, bahwa ada ‘sesuatu’ yang bikin kita menyatu. Oke, bahasa gue mulai lebay.
Udah deh, segini dulu nge-describe dia.
Sekarang, gue bakal ceritain semua yang dia rasakan ke gue.
Dia orang yang dewasa, gue sangat menjunjung tinggi kedewasaan yang dia punya. Bahkan secara pemikiran, dia lebih dewasa dari gue. Ini bukan bualan, tapi kenyataan.
Kedewasaan dia yang membuat orang-orang ingin dekat dengan dia. Mungkin, segelintir dari anak-anak di angkatan gue ingin memiliki persahabatan dengan dia melebihi apa yang gue dan dia sudah jalin sejak dulu. Tapi hasilnya... gue nggak bisa jelaskan. Dia malah jadi punya sebuah persahabatan yang sangat complicated dengan temannya yang lain.
Pertama, dia punya beberapa temen yang pinter, yang memiliki selera humor yang tinggi, dan banyak lagi. Bahkan, salah satu dari temannya adalah anak seorang petinggi (atau lo juga bisa sebut pejabat) di daerah gue. Otomatis, si temannya itu memiliki harta yang hampir sempurna, bukan?
Tapi... teman gue ini bilang ke gue. “Gue selalu jadi korban.”
Gua yang ngedenger hal itu bingung setengah mati. “Maksudnya gimana nih?” kata gue dengan sedikit mengangkat alis mata gue.
“Ya korban, Nur.”
Gue termenung sebentar. Apa yang dia maksud sebagai “korban”? APA? Gue makin bingung.
“Mereka Cuma butuh saran dari gue,” dia bilang sembari mengambil sebuah buku dari tasnya.
“Saran?”
“Iya, saran.”
AHA! Gue mengerti.
“Apa mungkin, mereka sedikit tidak menghargai lo sebagai seorang sahabat?” kata gue sambil menebak. Yah, gua agak sedikit gambling saat itu.
Dia menarik napas sebentar. “Bisa dibilang seperti itu.”
Setelah dia curhat bentar, dia bilang temen-temennya Cuma butuh saran dari dia. Sementara keluhan-keluhannya nggak pernah digubris.
“Bahkan keluhan tentang makanan bekel gua aja nggak dilayanin, Nur.”
Gue termenung. Sakit ya, jadi DIA.
“Kurang nusuk apa nur. Sakit tau ga, sakit!!!” serunya sambil nunjuk-nunjuk dadanya.
“Eh woy biasa dong!” kata gue biar keadaan nggak makin panas.
Keadaan mulai reda. Oke, curhatnya dilanjutin lagi.
“Dan lo tahu nggak, Nur?” tanya dia lagi.
Gua ngangkat alis. “Apa?”
“Gue cape udah jadi tempat buang sampah untuk teman-teman gue.”
Tempat-buang-sampah. Yeah.
“Gua tuh bingung musti ngapain. Begini, salah. Gitu juga salah. Ya gue harusnya ngapain dong?”
Gue termenung. Mencoba menyerap apa yang telah dia sampaikan semuanya. Mungkin, gak semuanya. At least, gue tau apa yang dia rasakan dan dia pendem selama ini.
Gue menghela napas sejenak. Oke, gua mulai speak up. “Jujur, I was speehless after you said that. Gue mengerti apa yang lo rasain sekarang.”
Dia mulai kebawa suasanya obrolan gue. Mulai memperhatikan gue.
“Gua, jujur nih, bingung musti saranin apa. Tapi yang pasti, ada beberapa (tindakan) yang harus lo lakuin.” Gue menjelaskan apa yang ada di pikiran gue secara hati-hati. Secara sadar tentunya.
“Oke, gue kasih komentar dulu ya. Jujur, sakit emang if I were you. Apa yang lo rasain saat ini, itu emang cukup menyakitkan. Tapi karena lo kuat, lo bisa bertahan sampe sekarang ini. Kalo lo adalah gue, mungkin gue nggak akan bertahan untuk memendam selama ini.”
“At least, lo musti mikirin apa yang lo musti lakuin. Nggak peduli nyokap atau siapapun nentang apa yang lo musti lakukan.”
Kita berdua diem. Dia diem mikirin apa yang udah gue sampein. Gue diem karena gue kentut tadi setelah berhenti ngomong.
“Tapi tuh Nur, gue bingung harus ngapain,” kata dia dengan nada yang sedikit lemes.
Nah, gue bingung lagi.
“Hm... lo tadi bilang kan, lo cape jadi tempat temen-temen lo curhat.”
“Iya...”
“Terus juga lo sakit hati karena mereka Cuma mau saran dari lo, nggak mau ngedenger keluhan dari lo.”
Dia ngangkat ibu jarinya. “Seratus. Pinter.”
“Gini,” gue berdehem sebentar. “Setahu gue, yang namanya seorang sahabat itu bisa sayang sama lo melebihi rasa sayang keluarga ke lo.”
Dia memperhatikan gue (lagi).
“Dan, kalo mereka berperilaku seperti itu, gue rasa mereka bukanlah orang-orang yang bisa disebut sebagai ‘Utusan Tuhan yang Dinamakan Teman’.”
Ekhem, gue termenung lagi. Pembicaraan berhenti sampai di situ. Gue dan dia diem. Gue diem karena gue mau belajar, tapi gue nggak tahu dia diem kenapa.
Dari apa yang dia ceritakan, gue ngerti apa yang dia rasakan saat itu. Dia sebenernya nyari sahabat, bukan TEMEN. Mungkin dia bilang, dia tahan dengan semua yang temen-temennya curahkan ke dia. Tapi, apakah dia bakal tahan kalo selama ini temen yang dia anggap sebagai yang semestinya malah melukai lo lebih dalam?
At least, gue jadi lebih ngerti kalo nggak semua orang itu baik. Nggak semua orang itu jahat. Dan nggak semua orang itu freak. Gue jadi nggak antipati sama orang-orang seperti itu. Gue nggak antipati kok sama semua orang, enggak. Tapi yang pasti, gue jadi makin waspada bahwa nggak semua teman dapat mengajak gue ke hal kebaikan.
Setelah gue mendengar semua cerita dia, gue jadi sadar betapa pentingnya treating your bestfriend. Semua jadi ngajarin gue betapa pentingnya menjadi seorang sahabat. Dan... gue jadi waspada kepada semua orang. Sekarang, gue jadi orang yang fleksibel, tapi gue punya prinsip terhadap diri gue sendiri. Nggak mau dong atas nama solidaritas gue ikutan temen gue buat ngebully adik kelas yang belagu. Nggak akan. Karena pada prinsipnya gue adalah gue dan orang-orang yang berada di sekeliling lo adalah orang yang Tuhan kasih untuk lo pilih, siapa yang baik untuk hidup lo.
Udah ah ngantuk. Ceritanya kapan-kapan lagi.

Love

Nuri

17 Des 2011

Terimakasih Tuhan untuk Bulan Ini!

Siang. Hehehe gua posting ini karena udah bebas dari tugas sekolah. Tinggal hari senin nyerahin tugas dan trengtengteng!!!! Liburrrrr.
Anyway, tanggal 5-10 Desember kemarin, gua ngejalanin tes Akhir Semester. Yap, lumayan lancar gue ngejalanin. But, satu masalah tengah gue jalanin *jengjeng*.
Setelah pengumuman nilai sudah digulir, gue cek pelajaran apa aja yang harus gue 'luruskan'. Ternyata, ada 6 pelajaran yang musti gue remed. Freak man, Freak! Gue guling-gilang di kamer. Gue depresi!!! Gue ngerasa, gue sebagai pelajar. Gagal. Ngerasa gagal segagal-gagalnya. Emang. Entah kenapa, seminggu ujian gue ngerasa gue nggak ada feeling apa-apa. Kayak gak ada beban aja. Waktu belajar juga gue ngerti-ngerti aja kok. Tapi, mungkin karena emang Tuhan mengharuskan gue untuk menjalanin ini, ya udah gue kerjain. I am such a girl that deserve anything.
Oke, tinggalkan tentang ujian.
Sekarang, gue bahas tentang stu(cks)dytour dari sekolah gue. K, mungkin gue nggak akan menyebutkan dimana gue bersekolah. Gue masih cinta sekolah meeen \m/.
First of all, I used to be hardly waiting of study tour. Ya jelas lah, acara jalan-jalan bareng teman satu angkatan. Siapa yang nggak bakal nggak seneng sih?
Tapi, menurut kalian gimana sih kalo jam berangkatnya itu ngaret sampe 1 jam? Awalnya, gue diem aja. Mencoba berpikir positif. Tapi setelah nyampe kawasan Kota Tua, kita diminta sama pemandu di bisnya untuk 1 jam berkeliling di Kota Tua. Hello??! Cuma satu jam di Kota Tua? Garing abis cyin! Akhirnya gue dan teman-teman protes untuk bisa berkeliling selama 3 jam. Berhasil!
Setelah didera berbagai masalah jam-ngaret, kali ini kita semua didera masalah.... konsumsi. Ya, konsumsi. Berhubung gue orang pemakan-segala, gue bisa masa bodo dengan apa aja yang gue makan. Tapi men, di study tour ini, makanannya gak enak! Mungkin gue bisa bilang nggak layak.
Dan, ada masalah lagi. Masalah tentang villa. Awalnya, gua, furrie, shifa, syifa, daniyah, ully, dan ntres menempati villa GunungGeulis 8, tapi ternyata nggak bisa dipake. Yaudah gapapa. Kita awalnya pundah ke GunungGeulis 66. Dan meeen fag! Kamar kita udah paling atas, pojok, gelap, ga ada gordennya lagi! Sial kita. Kita protes akhirnya. Dan akhirnya, kita dapet GunungGede 22. Gapapa.
Finally, gue cuma mau berterimakasih kepada Tuhan atas Bulan Desember ini. Semoga membuat gue semakin baik hehe.

Much Love,

Nuri
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...