24 Mei 2012

Make Me Feel Like In Paris #1

Hai! XD Maaf nih cerbung yang aku janjiin lama. Dan bener-bener telat! Kenapa? Soalnya, sibuk sama sekolah. Padahal UN udah selesai. So, here this is. Baca dan komen ya! :-)


Aldene tampak sangat lelah hari itu. Presentasi, Quiz, dan berbagai macam tugas hari itu sukses membuatnya lelah seperti habis bekerja Rodi. Membuat tubuhnya terasa remuk, sudah tidak ada kekuatan lagi untuk berdiri tegak. Yang ada, hanya untuk merebahkan dirinya di atas kasur.
Sepanjang hari ini, pak Horis berhasil membuat seluruh tulang maupun sendi bertekuk lutut, memohon agar tak sekeras dan selama itu dipaksa bekerja.
Presentasi berisi 58 slide telah ia putar menjelaskan apa arti dari Ekonomi Bisnis Fashion yang dapat meningkatkan ekonomi bangsa. Powerpoint yang telah dia pikirkan selama 1 minggu kerangkanya, dan 3 minggu pencarian bahan sekaligus penjelasan materi.
Dia mendapat giliran nomor 13. Dia salah satu dari sekian juta masyarakat negeri ini yang percaya akan mitos di jaman milenium abad 21. Dan masih percaya bahwa angka 13 adalah angka ketidakberuntungan.
Satu orang bisa sampai 20 menit memaparkan presentasi di depan 3 orang juri. Salah satunya pak Horis, yang sudah tersohor sebagai ekonom handal di kampus. Dua orang juri lainnya adalah praktisi fashion yang telah lalu lalang di perindustrian perkainan dan memiliki jam terbang setinggi galaksi bimasakti.
“No no no. Seorang Aldene nggak boleh malas. Kalau malas, mau bilang apa Ayah dan Ibu di rumah? Aku nggak mau dibilang di luar kota hanya merepotkan mereka dan membuang uang seenaknya,” gerutu Aldene kepada dirinya.
Sudah 2 tahun Aldene tinggal di Jakarta untuk meneruskan mimpinya menjadi desainer terkenal kelas internasional. Aldene tinggal sendiri di Jakarta. Tanpa saudara, tanpa keluarga, semuanya asing. So, dia harus berjuang seorang diri di Jakarta.
Usianya sudah 21 tahun. Dia sempat tidak naik kelas satu tahun saat SMA. Harusnya, dia sudah semester 6. Tapi, dia baru masuk semester 4.
Handphone-nya berdering saat dia membereskan buku-buku pelajaran ke rak bukunya.
“Halo,” Aldene memulai.
Halo, Denu,” ada suara di seberang sana.
“Bu, jangan panggil ku seperti itu, lah...” Aldene mendengus kesal.
“He he, habisnya lucu kalau kamu dipanggil seperti itu,” suara itu seperti menyimpan sesuatu. Dengan sadar, Aldene mencurigai sesuatu.
“Bu, ibu ada apa?” Aldene menyidik.
“Uhm?” kata Ibu.
“Ibu telpon pasti ada apa-apa dengan Ibu, kan?” tanya Aldene lebih lanjut.
“Kok kamu tau sih, Kak...”
“Begini, Aldo adik kamu. Dia...”
Hening. Suara ibu tercekat sesuatu di dalam tenggorokannya.
“Loh, kok diem, Bu?” Aldene heran. Ada apa dengan ibunya ini?
“Kemarin Ayah ambil hasil rontgen Aldo. Dan setelah dibaca dokter, ternyata ada lubang di paru-paru kanannya. Dan, kalau tidak segera ditangani, mungkin dia tidak akan...”
Jantung Aldene seakan penuh oleh rasa sesak yang amat dalam. Adiknya... mengidap penyakit yang menurutnya seram.
“Aldo.. apa dia sekarang...”
“Dia masih batuk-batuk, nak. Berat badannya juga turun 8 kilo dalam waktu 2 bulan.”
“Ibu takut ada hal yang lebih parah menimpanya.”
Ibu terdiam sebentar.
“Dengan itu, ibu harap maklum kalau mulai bulan depan biaya hidup kamu di Jakarta akan berkurang.”
“Iya, Bu. Aku mengerti. Ini semua demi kesembuhan Aldo. Aku akan mencari pekerjaan paruh waktu di sini, untuk memenuhi kebutuhan hidupku di Jakarta. Ibu sudah tidak perlu mengirimku uang. Fokuskan pikiran Ayah dan Ibu pada Aldo. Aku nggak mau dia mengidap penyakit yang lebih parah lagi.” Tanpa sadar Aldene mulai meneteskan air matanya.
“Kamu nggak usah mengkhawatirkan kami bertiga, ya. Kami selalu mendukungmu. Apapun rintangan yang kamu hadapi di Jakarta, hadapi dan hadirkan selalu Tuhan di hatimu.”
Ucapan dan nasihat Ibu membuat hati Aldene sedikit lega menghadapi kenyataan yang baru diterimanya.
“Makasih ya, Kak. Kamu sangat sehat, terdengar dari suara kamu yang lantang,” ucapnya. “Tuhan dan Alam Semesta mencintaimu.”
“Makasih juga ya, Bu. Love you too.” Aldene menghapus air mata di pipinya.
Aldene melanjutkan diri memasak makan malam. Memasak nasi goreng di rice cooker menjadi keahliannya selama ini.
Setelah nasi goreng selesai dimasak, dia baru teringat dengan ucapannya tadi.
“Mampus! Aku bilang ke Ibu kalau aku akan mencari part-time job. Tapi harus cari di mana?” dia bingung sambil melahap nasi gorengnya.
“Kalau besok sampai nggak dapet, aku mau makan apa bulan depan?!”
Dia lalu menyambar handphone dan menekan tuts sebuah nomor telepon. Milik Abeegail, sahabatnya di kampus.
Halo,” suara di seberang sana.
“Halo, Bee. Ini aku,” kata Aldene.
Aku? Aku siapa? Anak gembala?” tanya Abeegail.
“Halah, jayus! Ini Aldene. Siapa lagi sih anak kampus yang manggil kamu dengan sebutan ‘Bee’?” jawabnya.
Oh, Dene! Ya Tuhan, nomormu nggak pernah aku save soalnya. Jadi, nggak pernah tahu deh siapa yang akan menelponku,” Abeegail meringis.
Yea what ever. Bee, aku butuh bantuanmu dong.”
“Bantu aku cari lowongan kerja part-time job, yah?” kata Aldene.
Kerja paruh waktu? Gila. Di Jakarta, susah meen. Lo serius mau cari part-time job?” tusuk Abeegail to the point.
Jleb. Dalem.
“Bee, aku emang butuh banget. Adikku, Aldo, harus perawatan paru-paru. Uang ayah dan ibu juga harus dipakai untuk perawatannya. Nah aku? Uang jajanku akan berkurang mulai bulan depan. Jadi, aku harus mencari pekerjaan paruh waktu. Kalau tidak? Makan apa aku nanti,” kata Aldene sambil memegangi perutnya.
Ya sudah, Dene. Nanti aku carikan part-time job untukmu, ya.
“Makasih ya, Bee! Kamu emang yang terbaik.”
Klik. Telpon terputus.

ABEEGAIL dan Aldene sedang menyeruput kopi yang tadi mereka pesan. Suasana sepulang dari kampus membuat mereka mampir ke kafe Kopi & Donat J.Co di dekat kampus mereka. Mereka rutin mampir ke sini sejak 2 tahun yang lalu. Dikarenakan kecanduan mereka terhadap satu pasangan: kopi dan donat.
“Oh iya Dene,” kata Abeegail sambil mengunyah donat Green Tea-nya.
“Kenapa kamu enggak ngelamar part-time job  di sini aja? Lumayan kan, kamu setiap hari mencium aroma donat dan kopi secara gratis. Dibayar pula.”
Aldene yang sedang menyeruput Moccachino-nya menatap Abeegail, menyerap usul yang Abeegail beri.
“Uhm. Iya juga ya. Lumayan kalau aku bekerja di sini.”
Seketika mata Aldene tertuju ke pintu masuk kafe. Matanya terbelalak. Seakan ada yang tertusuk dalam hatinya. Moccachino yang berada di lidahnya terasa hambar, bahkan hampir pahit. Matanya kini terhenti pada satu objek yang baru dilihatnya kembali.
Abeegail yang masih sibuk mengunyah donatnya menangkap mimik wajah sahabatnya itu. Sepertinya ada yang aneh, batinnya berkata. Dia mengikuti gerak mata Aldene ke pintu masuk. Ternyata benar!
Itu Bagus.
Perempuan itu?
“Dene, are you OK?” Abeegail menyadarkan temannya itu.
Aldene masih terdiam. Namun kini tatapan matanya berpindah ke cangkir kopinya di meja. Dia tak mampu menangis. Dia hanya mampu memutar memori yang dulu ada. Memori yang sebelumnya menjadi bala dalam hidup Aldene. Bala bencana.
“Dene, Dene.”
“Eh, iya! Kenapa Bee?” kata Aldene pura-pura bodoh.
Don’t be like a fool, Dene. Sudah yuk kita pulang saja.” Akhirnya mereka berdua pulang dengan donat di masing-masing tangannya.

“BEE, aku kenapa ya tadi?” kata Aldene sambil membereskan kamar kosnya.
“Kamu tadi lihat Bagus ya?” kata Abeegail jelas.
“Iya. Tapi, kenapa napasku langsung begini ya?”Aldene meletakkan tangannya di dadanya. Terasa ada benda yang jatuh dengan keras. Benda—yang mungkin—kembali jatuh setelah kejatuhan pertama kali 3 tahun lalu.
Abeegail mengerti perasaan sahabatnya itu. Dia hanya tidak mau melanjutkan bertanya ke Aldene. Dia tahu, Aldene masih syok. Walaupun ia tidak tahu bagaimana Bagus, tapi dia sudah bisa menebak kalau tadi adalah Bagus.
“Emang, kamu sama Bagus berapa lama sih?” tanya Abeegail.
“Berapa lama apanya?”
Please, ya kamu jadian sama si Bagus!” sentak Abeegail.
“Ooh, 3 tahun,” jawab Aldene pendek.
“Uhm.”
“Berarti waktu itu kalian masih SMA, ya?” tanya Abeegail lagi. Aldene mengangguk.
Dan Aldene masih tidak mau bercerita. Abeegail memilih untuk tidak melanjutkannya.
“Bee..” kata Aldene pelan.
“Apa?”
“Aku enggak mau bekerja di kafe seperti J.Co, ya.”




To be continued....

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...