31 Mei 2011

Perasaan yang Tak Terbalas


Gini nih, gue mau cerita sesuatu. Tapi sebelumnya gue mau nanya ke kalian.


“Apa lo semua pernah ngalamin yang namanya patah hati?”


“Seperti apa sih rasanya?”


“Apakah setiap manusia juga harus mengalami perasaan yang sama?”
Senin, 30 Mei 2011 gue galau berat. Kenapa? Gue tahu bahwa cowok yang gue suka menyukai cewek lain. Nyesek nggak sih? Oke buat lo-lo yang bilang itu nggak meembuat hati tersakiti
. Tapi gue Cuma mau bilang dan nyaranin ke lo dan lo, lo dan lo harus periksa ke psikiater apakah lo punya perasaan atau tidak, dan kalo lo emang punya perasaan, berarti lo nggak normal. It hurted me, man. Gue tahu hal ini dari seorang teman satu kelas gue. Dia senasib dengan gue—mempunyai perasaan cinta yang tak terbalas. Well, emang mungkin menurut lo gue berlebihan untuk menganggap kalo itu sangat menyakitkan. Tapi, plis denger, gue juga manusia. Manusiawi untuk nangis, dan sakit hati. Tapi gue juga nggak akan berlarut-larut dalam kesedihan itu.
Dan... setelah menceritakan apa yang sebenarnya, temen gue bilang ke gue:
Plis nur, jangan nangis ya, aku juga ngerasain hal yang sama ko sama kamu.
Well, Ken (temen gue), lo nggak bisa disalahkan atas kesedihan gue.


Sebenernya, yang membuat gue sedih bukan karena cowok itu menyukai orang lain, bukan. Gue seneng kalo dia seneng, itu aja kok. Tapi, setelah gue telusuri siapa cewek yang dia suka, awww gelo geblek sedunia. Udin yang bego namanya bahluludin. Cewek itu temen sekelas gue men, dan gue cukup intens curhat ke dia. Sekiranya, apakah dia mengerti tentang perasaan gue? Tapi, eh gue berlebihan, dia nggak tahu siapa yang gue suka, dan dia tidak bisa disalahkan dalam kegundahan hati gue ini.


Terus, gue berusaha untuk tidak menangis saat les (gue mendengar cerita itu saat gue les bahasa inggris). Tapi, dasar gue orangnya mudah kepancing emosi—karena masih ababil—akhirnya berlinanglah mata sipitku ini. Yap, sedikit demi sedikit airmata mutiara ini (cuih) jatuh dari sarangnya, untung yang ngeliat cuma si Ken sama si Aul (temen gue dan Ken). Mereka cuman  bilang:
Plis Nur, jangan nangis, nggak enak nih ngeliat kamunya nangis.
Gue sempet berpikir, kenapa mereka nggak enak melihat gue menangis? Hal ini menimbulkan dua kemungkinan:
1.      Mereka kasihan pada gue yang sedang gundah gulana ini.
2.      Gue jelek banget kayak babi mencret saat nangis.
Dan satu kalimat bijak dari Aul ke gue:
“Nur, udah nggak usah ditangisin. Cowok kayak gitu nggak usah ditangisin. Ngapain nangisin cowok yang nggak ada perasaannya sama kamu?”
Sejenak mendengar hal itu, gue berpikir, dan berkata dalam hati:
“Ul, apakah elo bego? Gue udah kesakitin secara nggak langsung! Dan kenapa lo ngomong kayak gitu? Suka-suka gue mau nangisin dia apa engga!”


Tapi, Aul melanjutkan kalimatnya yang mematahkan pendapat gue:
 “Aku juga ngerasain hal itu kok, Nur. Bukannya apa-apa. Kalo kamu nangisin dia, percuma juga kan? Ngebuang energi kamu aja. Mendingan simpen buat hari esok, buat belajar, minggu depan UKK kan? Mending gitu deh.”
“Dan kalo emang cowok itu nggak suka sama kamu walau kamu suka banget dan mempunyai perasaan yang cukup dalam sama dia, anggep aja dia bukan rejeki kamu. Toh, itu artinya kamu bakal dapet cowok yang lebih bih bih baik dari dia. Tenang aja, Tuhan udah ngerencanain yang terbaik kok untuk kita.”


Well Ul, thanks for your advise. Bener banget apa yang elo omongin, dan gue telah salah menilai pendapat lo yang pertama.
Sesampainya di rumah, gue masih gundah gulana. Sekitar jam 18.27, gue mengambil air wudlu untuk salat. Dan gue doa setelah salat (sebenernya ini doa malah kayak curhat gue ke Allah s.w.t):
“Ya Allah, kalo emang dia bukan yang terbaik untukku, tolong berikanlah yang lebih baik dari dia. Mudahkanlah hati ini untuk melupakan tentang perasaan itu. Tolong kuatkanlah hati ini agar bisa bersabar dalam nerima cobaan ini. Kalau memang aku terlalu dalam mencintainya, tolong agar aku tidak masuk ke dalam maksiat-Mu. Kalau memang aku terlalu mencintainya, jadikanlah ini sebagai pelajaran agar aku bisa kuat mendapatkan lelaki idamanku, Ya Allah.”

Beberapa jam kemudian...
Gue sms ke salah satu temen cowok gue—yang juga temen curhat gue yang baik—sebut saja Idi (bukan nama sebenarnya). Gue curhat ke dia tentang masalah perasaan gue. Gue minta advise ke dia dengan sudut pandang sebagai seorang cowok melalui pesan singkat. Gini nih percakapan gue dengan dia:
Gue (N): Di, kita mau curhat sih...
Idi (I): Sok aja, kenapa Nur?
N: kita tuh ya lagi sedih nih. Kita tuh suka sama Cendil (sebut saja dia, bukan nama sebenarnya). Tapi Cendil suka sama Cindil (seperti yang sudah gua ceritakan tadi. Kenapa gue sebut Cindil? Abis sok polos kayak tikus yang baru lahir.) dan udah nembak Cindil pula. Padahal tuh di perasaan kita ke Cendil udah cukup dalem. Kita minta pendapat pendapat ira (baca: kamu--bahasa Cirebon) sebagai cowok nih ya. Thank you.
Hening... beberapa menit kemudian...
I: Ya kalo kata kita sih, iranya coba ngomong aja, daripada dipendem malah jadi penyakit. Nah ira harus bisa nerima jawabannya. Kalo jawabannya engga, ira jangan sampe dibikin pusing, tapi misalkan iya ya Alhamdulillah.
Akhirnya, gue nurutin apa kata Idi. Emang sih, kalo dipendem malah jadi penyakit juga. Akhirnya gue beraniin untuk ngomong. Gue ngomong ke Cendil terserah keputusan dia apa, yang pasti gue akan nerima dengan hati yang lapang segede lapangan futsal (karena kalo lapangan bola, kegedean. Perasaan menerima gua nggak bisa segede itu, masih nyesek wekekeke).
Dan Cendil menjawab:
“Oh, maaf Nur. Tapi saya sudah suka sama orang lain.”


Yap, gue mencoba mengikhlaskan yang terjadi. Sehingga gue menyadari bahwa dia tidak mempunya perasaan yang sama kayak gue. Dan salutnya gue ke dia, dia tetep minta maaf walau dia nggak punya rasa suka sama gue. Dan ini menjadikan gue sebagai orang yang lebih sabar dan pengertian. Walau pertamanya nyesek, Insya Allah gue akan menerima with all pleasure. Dan yang terakhir, gue bilang ke dia:
“Oh iya Cen, setelah aku ngomong kayak gini, aku mau kamu nggak ngejauh atau sampe ngemusuhin aku ya. Aku masih mau temenan sama kamu. Thank you.”
Senang dia merespon sms gue yang terakhir dengan positif.


Well, teman-teman, itu aja yaa yang bisa gue share ke kalian semua. Semoga kalian dapet hikmah dari cerita gue tadi. Dan buat kalian semua, be patient ya! =) dan kalian harus lebih kuat dari gue, jangan jadi gundah gulana kayak gini.

Trims,

Nuri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...